Oleh: rullyindrawan | Desember 2, 2008

LEMBAGA PENYELENGGARA PROGRAM SERTIFIKASI BAGI GURU: IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PROBLEMATIKA SERTA SOLUSInya

Rully Indrawan[i]

 

M

eningkatkan mutu guru merupakan bagian integral dari upaya meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) Jawa Barat, khususnya bidang pendidikan. Maka dalam perspektif itu, sangat wajar bila pemerintah Jawa Barat memiliki keperdulian yang besar terhadap penyelenggaraan program sertifikasi guru. Baik yang diselenggarakan melalui program pendidikan profesi bagi calon guru, maupun pendidikan profesi bagi guru dalam jabatan.

Menurut catatan saya, saat ini Jawa Barat memiliki 166.370 orang guru PNS yang tersebar di pendidikan dasar dan menengah. Bila  diasumsikan guru non-PNS sebanyak setengah dari jumlah tersebut, maka yang berhak untuk disertifikasi melalui pendidikan profesi bagi guru dalam jabatan berjumlah kurang lebih 250 ribu guru, atau kurang lebih 10% dari jumlah guru yang akan disertfikasi secara nasional.  Dan jumlah ribuan orang lainnya setiap tahun berada dalam pendidikan profesi bagi calon guru di Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan (LPTK).

Besarnya jumlah dan beratnya medan yang harus dihadapi menjadi tantangan yang tidak ringan bagi pemerintah daerah yang diberi tugas menjalankan tugas ini. Khususnya untuk pendidikan profesi bagi guru dalam jabatan. Setidak-tidaknya, ada dua masalah dasar yang harus dihadapi dalam mengimplementasikan kebijakan ini, di tengah target tahun 2007 nanti tunjangan profesi guru yang telah mendapatkan sertifikat sebagai pendidik sudah harus bisa dibagikan. Pertama, lembaga yang secara normatip dibenarkan untuk menyelenggarakan program ini. Tapi sekaligus secara praktis, benar-benar memiliki kapabilitas dan akuntabilitas untuk menyelenggarakan program strategis ini. Kedua, model penyelenggaraan seperti bagaimanakah yang memiliki tingkat efektivitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Kedua hal itu akan dibahas pada pokok tulisan, sedangkan pada bagian lain akan dibahas masalah yang kemungkinan muncul dalam tataran implementasi kebijakan serta alternatip solusi atas masalah yang timbul.

 

Penyelenggaraan Program

Berbeda dengan kebiasaan yang sering terjadi dalam pemberian sertifikasi pada berbagai profesi, baik di negara kita maupun di luar negeri. Dimana peran asosiasi profesi sangat sentral perannya, namun tidak demikian halnya dengan Undang-Undang no 14 tahun 2005 yang menegaskan tentang pihak yang berhak menyelenggarakan kegiatan sertifikasi guru (dan Dosen), adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan, boleh jadi dapat diidentifikasi sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan (LPTK). Terlepas setuju atau tidak, pernyataan itu telah muncul menjadi suatu yang mengikat. Dan kita harus percaya  keputusan ini didasari oleh pertimbangan yang telah dipikirkan secara matang.

Sejauh ini proses penunjukan LPTK yang melaksanakan pendidikan profesi dan uji sertifikasi masih menjadi pertimbangan Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Berbagai wacana telah dilontarkan selaras dengan kepentingan dan sudut pandang masing-masing. Sejauh argumentatip dan berpijak pada landasan yuridis formal, lontaran wacana tersebut sebenarnya syah-syah saja. Menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), yang dilansir dalam sebuah situs minggu ini, masih akan ada pengecekan kriteria dan kemampuan lembaga pendidikan yang akan dipilih. Masih sangat terbuka peluang dan jumlah tidak dibatasi sepanjang memenuhi persyaratan. Secara umum pemerintah mempertimbangkan kesiapan sumber daya manusia, jumlah staf, kelengkapan sarana, sistem pembelajaran, dan strategi pembelajaran.

Melihat dari kenyataan yang ada saat ini, pendidikan keguruan di Jawa Barat dilaksanakan secara bersama-sama oleh LPTK yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh LPTK yang diselenggarakan oleh masyarakat atau  swasta. Hal yang terakhir, Jawa Barat boleh berbangga memiliki LPTK yang diselenggarakan oleh masyarakat ini, banyak yang telah memperoleh status akreditasi yang baik. Pada kasus-kasus tertentu skor akreditasi program studi LPTKS banyak yang lebih baik dari LPTKN. Fakta yang lain, diakui atau tidak, sejauh ini mampu berperan  signifikan dalam membantu menjadi penyedia guru di Jawa Barat. Sehingga pembangunan manusia sejauh ini mampu berjalan.

Melihat dari dasar hukum tentang penyelenggara sertifikasi, serta data empiris tentang kontribusi LPTKS dalam pembangunan pendidikan di Jawa Barat,  maka sangat wajar bila pendidikan profesi, LPTKS diberi kesempatan yang sama. Hal ini selaras dengan pernyataan yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas, yang akan menilai sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta dalam penyelenggaraan sertifikasi profesi itu. Dengan syarat dasar program studi yang dimaksud telah diakreditasi. Secara umum, hampir 80% program studi di LPTK swasta di Jawa Barat sudah diakreditasi, artinya sebanyak itu pula yang telah memiliki kewenangan normatif untuk menjadi lembaga pelaksana sertifikasi. Di luar pertimbangan kewenangan normatif itu memang membutuhkan penelaahan dan penetapan yang lebih tajam lagi, melalui proses penilaian kepatutan secara kelembagaan agar program sertifikasi tidak hanya dijadikan pemberian selembar kertas, dan lembaganya tidak hanya sekadar lembaga ecek-ecek.

Kriteria yang mutlak dipertimbangkan dalam menetapkan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesi, antara lain:

Pertama, sumberdaya manusia (tenaga kependidikan), fasilitas, dan daya dukung sumber belajar selaras dengan standar nasional pendidikan,

Kedua, LPTK yang ditunjuk seyogyanya memiliki catatan yang baik, dan memiliki kemampuan nyata dalam melaksanakan pendidikan profesi secara komprehensip (professional, pedagogik, dan sosial).

Ketiga, memiliki akses dan keterjangkauan layanan, dengan tetap berpegang pada pemahaman bahwa pendidikan profesi harus pendidikan berbasis kampus.  Hal itu mengingat perannya yang harus memberikan intensitas pendidikan yang cukup tinggi, terutama penerapan pengalaman pengajar kepada peserta didiknya.

Keempat, pentingnya pengendalian atas pelaksanaan sertifikasi, khususnya melalui pendidikan profesi dalam jabatan, maka seyogyanya LPTK dapat bekerja sama dengan lembaga penjamin mutu  pendidikan, atau pusat-pusat pengembangan penataran guru.  

Berkaitan dengan kriteria di atas, sementara target yang telah dicanangkan oleh pemerintah,  tunjangan profesi harus mulai direalisasikan tahun 2007. Tetapi di sisi lain peraturan pemerintahnya belum juga lahir, maka banyak masalah yang harus secepatnya disepakati dalam menetapkan LPTK sebagai penyelenggara pendidikan profesi.

Status akreditasi yang telah ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) untuk suatu program studi, ada baiknya menjadi dasar penetapan untuk dipilihnya sebuah program studi di LPTK untuk menyelenggarakan pendidikan profesi. Program studi dengan status akreditasi A dan B layak untuk diberi kesempatan dalam menggelola program pendidikan profesi. Namun pengecualian harus dilakukan bagi LPTK yang berada di daerah, dengan radius cukup jauh dari ibu kota propinsi. Hal ini dikaitkan dengan kenyataan penyebaran guru di Jawa Barat sangat tinggi variasinya. Faktor beban pembiayaan dan potensi  gangguan terhadap pelaksanaan tugas mengajar, menjadi dasar pertimbangan penting dalam menetapkan pengecualian status akreditasi A atau B. Akan tetapi seyogyanya, alasan di atas tidak menjadi dasar diperkenankannya pendidikan jarak jauh, mengingat pendidikan profesi membutuhkan suasana interaktif sedemikan rupa dalam mengimplementasikan pengalaman mengajar. Oleh sebab itu, seperti dinyatakan dalam kriteria, pendidikan profesi sebaiknya menjadi pendidikan berbasis kampus. 

Masalah dalam Implementasi

Mengkaji Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Guru (RPPG), yang dikeluarkan pada tanggal 6 April 2006, sertifikat pendidik diberikan, kepada (a) calon guru setelah ia menyelesaikan pendidikan profesi, (b) guru dalam jabatan yang telah dinyatakan lulus dalam uji kompetensi yang diadakan oleh lembaga pendidikan profesi. Perbedaan itu didasari oleh kondisi yang dihadapi pada masa transisi, pada dasarnya hal itu bisa dipahami. Namun ada beberapa hal dalam RPPG yang harus dicermati, antara lain.

Pertama, menurut hemat saya pendidikan profesi kepada calon guru seyogyanya diperuntukan bagi lulusan S1 atau D-IV non-kependidikan. Karena materi ajar program S1 atau D-IV Kependidikan pada dasarnya telah memiliki dasar-dasar kompetensi yang diharapkan. Dan di masa datang keadaannya semakin lebih baik, seiring dengan tersosialisasikannya ketentuan kompetensi ke dalam struktur pembelajaran LPTK. Lain halnya bagi lulusan S1 atau D-IV non-kependidikan. Perlu pembekalan materi  kompetensi pedagogik sebagai dasar keterampilan dalam mengelola pembelajaran. Paket pelatihan yang memuat kompetensi pedagogik itu harus dapat diselesaikan  dalam dua semester. Harapan RPPG agar pendidikan profesi bagi lulusan  S1 atau D-IV kependidikan memperoleh tambahan bekal kompetensi professional dalam praktiknya ini akan memperumit persoalan. Selain masalah teknis yang akan dihadapi juga akan mencuat  masalah kerancuan makna LPTK sebagai agen pendidikan profesi.

Kedua, penyelenggaraan pendidikan profesi bagi guru dalam jabatan. Ada baiknya mempertimbangkan masa kerja serta rekam jejak pengalaman mengajar guru yang bersangkutan. Selain masalah mempersempit persoalan teknis, yang paling penting adalah memberi makna lebih dalam tentang komitmen perbaikan mutu yang didasari oleh pendekatan kesejahteraan. Bagi guru dengan kualifikasi S1 atau D-IV, yang telah mengajar lebih dari 25 tahun dan terbukti memiliki jejak prestasi yang baik, ketentuan uji kompetensi ini sepatutnya dipertimbangkan kembali. Sangat mungkin akan terjadi polemik dalam memberi penilaian “jejak prestasi yang baik”, tetapi itu dapat dibuatkan rumusan pengukuran tentang itu. Dapat diduga dengan tanpa pemilahan peserta pendidikan profesi bagi guru dalam jabatan seperti itu, akan sangat dimungkin terjadi praktik yang kurang terpuji dalam pengukuran keberhasilan uji kompetensi, mengingat jumlah yang dihadapi sangat besar.

Keberanian untuk memberi sertifikat guru bagi kelompok ini, tanpa uji kompetensi, juga harus diberlakukan bagi guru-guru yang mengajar di daerah terpencil. Selain memperkecil resiko terabaikannya tugas mengajar akibat mengikuti pendidikan profesi yang jauh dari lokasi tugas, juga yang tak kalah penting adalah fakta “kompetensi” mereka menaklukan lingkungan sudah teruji. Boleh jadi lebih baik dari para guru yang memiliki skor nilai kompetensi yang lebih baik, namun tidak memiliki pengalaman mengajar di lingkungan khusus ini.

Ketiga, substansi materi pendidikan profesi, khususnya dalam kompetensi pedagogik, perlu ditekankan betapa pentingnya pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Masalah-masalah teknis, seperti perencanaan pengajaran, evaluasi, metode mengajar, dan sejenisnya mutlak dikuasai. Akan tetapi kemampuan guru mengelola emosi dan spiritualitasnya ini penting di tengah dinamika lingkungan sekitar peserta didik berjalan sangat cepat. Masalah pokok dunia pendidikan kita ke depan adalah mentransformasikan nilai-nilai jati diri, sekaligus membangun ahlak bangsa. Misi tersebut tidak cukup dengan peningkatan keterampilan mengajar saja, namun perlu dikembangkan sosok figure guru yang patut menjadi panutan. Dalam konteks itu, ada baiknya untuk kasus pendidikan profesi guru di Jawa Barat penanaman kesadaran berbudaya lokal (daerah) menjadi materi pokok dalam setiap materi kompetensi (professional, pedagogic, social, maupun kepribadian).             

  


[i] Guru Besar FKIP UNPAS, PR II UNPAS.


Tanggapan

  1. peran guru sangt besar terhadp sosil,tpi pemerintah sakan kurang pehtian terhdap guru.tanks

  2. setuju, tp skrg jadi bingung, setelah akta IV dihapus, program profesi guru jadi tertutup tergantung pemda masing2, sangat rentan dengan kolusi dengan tidak memberikannya informasi yang jelas kepada semua calon guru

    • tidak tertutup malah lebih terbuka. Ada beberapa program pengganti Akta IV bagi sarjana yang non kependidikan.

  3. Bagaimana prosedur pengganti Akta IV bagi sarjana non kependidikan untuk tahun 2011. Mohon *informasinya kampus mana saja yang menyelenggarakan program tersebut di wilayah Jabotabek? Terima kasih.

    *mohon dijawab ke email saya ya Pak.

    • Coba kontak ke FKIP Universitas Pasundan. Jl. Tamasari no-6-8 Bandung

  4. INGIN MENGETAHUI DAFTAR NAMA CALON SERTIFIKASI KE WEBSITE APA? UNUTK KAB.CIREBON

  5. bagaimana untuk mengetahui daftar nama calon sertifikasi guru tahun 2011 untuk kab. cirebon

    • bisa menghubungi dinas pendidikan kabupaten


Tinggalkan Balasan ke rullyindrawan Batalkan balasan

Kategori